Kamis, 18 Agustus 2011

never ending script

Kau datang saat aku sedang bergegas menuju langkah terakhirku
Aku telah berkemas untuk segera pergi dengan bekal yang banyak
Tapi aku baru menyadari bahwa persiapanku tak sebatas itu
Ternyata kau adalah satu-satunya jembatan yang menghubungkan pintu keluarku
Tapi kau taburkan duri beracun di sepanjang jalan setapakmu

O, skripsi
kaulah yang dikenal untuk membuktikan kedigdayaan intelektualku
kaulah salah satu anak tangga terakhir yang sulit kulalui
begitu beratnya aku untuk menuliskan dirimu
kau manfaatkan rasa malasku untuk menghambat kerjaku

O, skripsi
tahukah engkau tentang blizkrieg?
sebuah serangan kilat dalam perang, kau tau?
Jika aku seorang Hitler maka aku akan melakukannya padamu
Tapi kau tangguh,

O, skripsi
Jika kau adalah manusia
maka aku pasti adalah musuh utamamu
tetapi orang bijak tidak akan memperlakukannya seperti itu
setiap masalah harus dihadapi dengan akal sehat 'kan?

O, skripsi
maka mulai saat ini aku tidak ingin menyebutmu sebagai musuhku
Akan kuanggap kau sebagai seorang yang akan kucintai
Biar  ku tulis tentang dirimu perlahan demi perlahan
hingga sampai bagian terakhir tubuhmu

you're my desperate
but you're mine, my sickness, my tiredness, my madness,
i found a new happiness after you
eventhough you're my never ending script









Selasa, 16 Agustus 2011

Kekhalifahan Utsmaniyah

Yup, bagi orang yang kurang berminat tentang sejarah umat islam beserta perkembangan peradabannya mungkin belum pernah dengar nama yang satu ini, Kekhalifahan Utsmaniyah. Sebuah era dinasti kekaisaran/kesultanan terletak di wilayah timur tengah, asia minor afrika utara hingga semenanjung balkan di eropa (1299–1923)  yang mengklaim status kekhalifahan islam sehingga memegang legitimasi sebagai negeri atau suatu kedaulatan dengan dasar syariat islam. Yah kira-kira seperti itu secara garis besarnya...

                                                               lambang kesultanan
Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, dalam bahasa turkinya Osmanlı İmparatorluğu, dan dalam bahasa arabnya دولت عليه عثمانيه ,Daulat 'Aliah Utsmaniah) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.
Negara ini didirikan oleh Bani Utsman (dalam bahasa Inggris: House of OsmanOttoman dynasty), yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil. atau
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi
Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.

 Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Serangan ke Wina tahun 1529.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-15660 melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.

Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
  1.  Pertama, buruknya pemahaman Islam.
  2.  Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekhalifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549)sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826)[, sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
 Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan khalifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.
 Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.


Terlibatnya Kekhilafahan Utsmani dalam PD I memperparah keadaan setelah kalah melawan tentara sekutu
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan khalifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
                                                                      Mustafa Kemal
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi . pada tanggal
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama. agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).






Senin, 15 Agustus 2011

Nasionalisme dalam Islam

Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa kaum barat untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip menentukan nasib sendiri (right of self determinism) melalui legitimasi PBB yang notabennya ciptaan USA. Contoh kasus lepasnya Timor Timur adalah contoh yang amat telanjang di hadapan mata kita.


Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara imperialis barat. Prinsip devide et impera ternyata belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide kebebasan yang diselipkan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet, dan lain-lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.

Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan imperialisme Barat gaya baru tersebut. Maka dari itu, salah besar kalau umat Islam terus mengagung-agungkan dan mensucikan ide kaum kafir barat itu, atau menganggapnya sebagai ide suci yang tidak boleh ditumpas. Padahal, faktanya, nasionalisme telah menghancurleburkan persatuan umat. Umat Islam harus segera mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir kehidupan secara nista di bawah telapak kaki para penjajah yang kafir.

Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah bangsa. Pengertian bangsa ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan bangsa kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Dalam wacana ilmu politik mutakhir pengertian bangsa lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999). Penduduk pesisir timur Sumatera (yang berbangsa Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang berbangsa Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Merekapun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka mengimajinasi sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah mengimajinasi sebagai satu bangsa dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang sama bisa menjadi bangsa yang berbeda, sementara yang sama bisa menjadi satu bangsa.

Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkrit. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan manusia, karena dia memiliki persepsi-persepsi yang akan menentukan jatidiri mereka (secara konkrit), membentuk institusi-institusi untuk mengatur kehidupan, menetapkan orientasi dan arah hidup, menjelaskan pandangan hidup serta jenis peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya, tidak dimiliki oleh nasionalisme?  (Abdus Sami' Hamid, 1998).

Nasionalisme : Racun!
Satu hal yang mungkin tidak disadari banyak orang, temasuk umat Islam, adalah kenyataan bahwa nasionalisme sebenarnya adalah ide yang diperalat oleh Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia (Abdus Sami' Hamid, 1998). Negara-negara Kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Bila kondisi chaos sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok hak menentukan nasib sendiri, atau isu bangsa yang berdaulat dan merdeka, dan sebagainya. Nasionalisme dijadikan landasan untuk menuntut kemerdekaan sekaligus untuk legitimasi perpecahan dan separatisme. Contoh kontemporer yang sangat gamblang, adalah masalah Timor Timur, yang secara sukses telah diceraikan dari Indonesia oleh Barat dengan tekanan-tekanan dan senjata mematikan : jajak pendapat (baca : nasionalisme).

Contoh lain untuk fakta bahwa nasionalisme telah dimanfaatkan Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia, adalah tercerai berainya umat Islam menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme. Benih-benih perpecahan umat ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi/zending yang sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris, dan Perancis pada pertengahan abad ke-19 di Siria dan Libanon. Sejak tersebarnya ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris mulai menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniah / Kekhalifahan Ottoman, yang mereka sebut sebagai sebagai negara Turki. Mereka juga menyebarkan pikiran bahwa orang Turki telah merampas Khilafah Islam dari orang Turki serta telah melanggar ketentuan syari'ah (Shabir Ahmed & Abid Karim, 1997, Abdul Qadim Zallum, 1990).

Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai politik di Arab dan Turki untuk menentang Khilafah, seperti Partai Al Fatah  Turki, partai Ittihad wa Taraqqi (Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan sebutan Turki Muda),  Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian (Ahd). Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-negeri Arab dari Khilafah. Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala  negara Khilafah dapat dikuasai secara militer dan akhirnya kekhilafahan Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem (Al Quds) dan berkata,"Hari ini Perang Salib telah berakhir" Sejak detik itulah negeri-negeri Islam menjadi bagaikan keratan-keratan daging bangkai yang dimangsa burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot (1915) di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi negeri-negeri Islam.

Contoh-contoh di atas hanya sekelumit saja dari bahaya nasionalisme untuk umat manusia yang muncul karena adanya dominasi dan hegemoni kafir barat. Bila kita buka lebih banyak lembaran-lembaran sejarah dengan cermat, akan semakin terbukti bahwa nasionalisme hakekatnya adalah racun yang mematikan ! Bukan madu yang manis seperti yang digembar gemborkan secara dusta oleh negara-negara imperialis Barat dan para penguasa kaum muslimin !

Nasionalisme Haram
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapatlah dipahami bila Islam telah menentang dan mengharamkan ide nasionalisme itu. Tak masuk akal, alias gila, bila ide yang telah membawa penderitaan dan kesengsaraan umat manusia itu dihalalkan dan diridoi oleh agama Islam yang lurus. Nasionalisme haram karena bertentangan dengan prinsip persatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Persatuan umat adalah wajib, sementara perpecahan umat adalah haram.
Kaum muslimin adalah satu kesatuan, yang wajib diikat oleh kesamaan aqidah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Allah SWT?  berfirman :
Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.(Al Hujurat : 13)
Dalam Piagam Madinah (Watsiqoh Al Madinah) disebutkan kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan :
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain" (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 119).
Rasulullah SAW pun telah mengharamkan ikatan ashabiyah, termasuk nasionalisme:
Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)
Di samping itu, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :
Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR. Muslim).

Lalu bagaimana dengan ucapan hadits حُبُّ اْلوَطَنِ مِنَ اْلإِيْمَانِ  (cinta tanah air adalah sebagian dari iman)
Hadits tersebut begitu mahsyur dikenal oleh umat muslim Indonesia, namun setelah dianalisis oleh para Muhaqqiq seperti Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, dalam tahqiq (analisis)nya atas buku ad-Durar mengatakan, “Kualitas hadits di atas adalah mawdhu’ (palsu), untuk itu silahkan rujuk referensi berikut:
al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiirin Minal Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya as-Sakhawi, hal.183
Tamyiiz ath-Thayyib Minal Khabiits… karya Ibn ad-Dubayyi’, hal.65
Al-Asrar al-Marfuu’ah Fii al-Akhbaar al-Mawdhuu’ah karya Mala Ali al-Qari, hal.164
Al-Fawaa’id al-Mawdhuu’ah Fii al-Ahaadiits al-Mawdhuu’ah karya al-Karamy, hal.174
Tadzkirah al-Mawdhuu’aat karya al-Fitni, hal.70
Kasyf al-Khafaa’ Wa Muziil al-Ilbaas… karya al-‘Ajluni, jilid I, hal.158

Dengan demikian, jelaslah kaum muslimin kini harus sadar dan membuang nasionalisme dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan ikatan nasionalisme. Coba bayangkan jika kita (bangsa Indonesia harus berperang dengan bangsa malaysia seperti yang digembor-gemborkan oleh para tokoh nasionalis. Apakah kita rela menumpahkan darah saudara seiman hanya karena beberapa sikap buruk negeri tetangga kita ini? Hanya karena mereka mengejek lagu kebangsaan kita ataupun merendahkan martabat rakyat indonesia sehingga kita ikut mendukung gerakan gayang atau bahkan memerangi mereka?Bukankah di Akhirat nanti kita akan berkumpul dan dikumpulkan sesuai umat masing-masing?

NB : Nasionalisme bisa disebut pula dengan Ashabiyah
oleh Muhammad Shiddiq Al Jawi.

sumber :
http://www.gaulislam.com/
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/4017.html

Monoton

Monoton, sebuah kata yang terdiri dari 3 suku kata yang jika kita search dalam kamus besar bahasa indonesia  berarti:
(1) berulang-ulang selalu sama nadanya (bunyinya, ragamnya); tunggal bunyi;
(2) selalu sama dengan yang dulu; itu-itu saja, tidak ada ragamnya.

Kalau kita gunakan kata monoton ini dalam dunia musik, anda pasti sudah sering mendengarnya, tapi bagaimana kalau dihubungkan dalam suatu pola perilaku kehidupan seperti kata hidup yang monoton. Mungkin artinya adalah menjelaskan bahwa pola hidup seseorang yang dilakukannya hanya itu-itu saja tidak ada variasi, tidak ada perkembangan dan tentunya membosankan jika dibayangkan oleh orang lain. Menentukan kehidupan seseorang monoton atau tidaknya itu bukanlah mudah, menurut saya kamu monoton sedangkan menurut kamu tidak. Kira-kira seperti itulah. Tapi bagaimana mungkin bisa ada kalimat hidup yang monoton kalau tidak ada pelakunya ?

Satu-satunya cara adalah dengan adanya keputusan bersama dari suatu kelompok orang-orang untuk menilai ke-monoton-an seseorang yang dibicarakannya. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, memang ini cara yang cukup objektif karena penulis dan beberapa teman-temannya sering berkumpul dan membicarakan bersama tentang model orang yang mana saja yang dianggap hidupnya kurang warna itu. Tapi perlu diingat bahwa menjastifikasi seseorang monoton adalah perbuatan yang kurang baik karena siapa tahu kalau ternyata kita sendiri termasuk golongan orang-orang yang monoton.

berhubung ini postingan yang pertama maka anggaplah ini sebagai muqadimah dari postingan-postingan yang akan datang nanti.